Way Kanan – Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga sarana kekuasaan yang mampu membentuk realitas sosial. Hal ini mengemuka dalam kajian bertema “Analisis Wacana dan Media: Representatif Gender dalam Tinjauan Kritis terhadap Bahasa dan Ketimpangan Sosial” yang diselenggarakan oleh Komisariat PMII STIT Al Hikmah Bumi Agung Way Kanan.
Penyampaian materi yang melibatkan mahasiswa lintas PT tersebut, dibahas bagaimana representasi gender dalam wacana publik—khususnya media massa dan pendidikan—sering kali tidak seimbang. Perempuan dan laki-laki digambarkan dalam peran-peran yang dibentuk oleh konstruksi sosial, bukan oleh kemampuan dan kenyataan hidup yang dinamis.
🔍 Bahasa Mewakili Kekuasaan
Menurut pemateri, analisis wacana kritis menjadi pendekatan penting untuk membedah relasi kuasa dalam bahasa. “Kita harus bertanya: siapa yang berbicara, kepada siapa, dan untuk kepentingan siapa?” Perempuan sering kali hanya direpresentasikan sebagai ibu rumah tangga atau objek estetika dalam iklan dan film.
📺 Media dan Stereotip Gender
Dalam segmen studi kasus dan diskusi, ditampilkan contoh iklan yang menggambarkan perempuan sebagai sosok yang selalu sibuk di dapur atau menjaga kecantikan demi keluarga. “Padahal perempuan juga bisa menjadi pemimpin, inovator, dan pembuat kebijakan,” tambahnya. Ia juga mengkritisi pemberitaan politik yang lebih sering menyoroti penampilan menteri perempuan ketimbang kinerja atau gagasan mereka.
📚 Dampak pada Dunia Pendidikan
Isu representasi juga ditemukan dalam buku teks. Banyak materi pembelajaran yang masih menampilkan tokoh laki-laki sebagai pemimpin, penemu, atau pelaku utama sejarah, sementara tokoh perempuan hanya disebutkan sebagai pendukung. “Ini adalah bentuk ketimpangan simbolik yang harus dibenahi,” tegasnya.
🧠 Membangun Kesadaran Kritis
Kajian ini mendorong mahasiswa dan pendidik untuk lebih sadar akan bagaimana bahasa dapat memperkuat atau justru melawan ketidakadilan. Salah satu rekomendasinya adalah penggunaan bahasa yang inklusif dan setara dalam materi ajar, iklan, maupun berita.
“Ketika kita bisa membaca dan mengkritisi wacana, kita tidak lagi hanya menjadi konsumen, tetapi juga aktor yang aktif dalam perubahan sosial,” pungkasnya.